Pola makan nabati dan hubungannya dengan biomarker oksidatif pada pesepakbola
Dalam penelitian terbaru yang dipublikasikan di Scientific Reports, para peneliti menyelidiki hubungan antara pola makan nabati dan biomarker oksidatif dengan menghitung skor indeks pola makan nabati dan menentukan tingkat biomarker urin untuk stres oksidatif pada pesepakbola profesional.
Latar belakang
Akumulasi spesies oksigen reaktif
dalam tubuh menyebabkan kerusakan protein, lipid, dan asam deoksiribonukleat
(DNA), yang dikenal sebagai stres oksidatif. Konsentrasi
8-hidroksi-2′-deoksiguanosin (8-OHdG) dan F2alpha-isoprostane (F2a-IP) dalam
urin sering digunakan sebagai penanda stres oksidatif. Pola makan yang sebagian
besar berbasis tumbuhan dianggap mengurangi stres oksidatif dan melindungi
terhadap spesies oksigen reaktif.
Pola makan nabati juga menjadi
semakin populer, terutama di kalangan atlet yang memiliki kebutuhan energi dan
daya tahan yang tinggi. Makanan ini dikategorikan berdasarkan proporsi komponen
nabati dan hewani dalam makanan. Mulai dari pola makan yang sepenuhnya nabati,
seperti pola makan vegan, hingga pola makan semi-vegetarian yang mencakup
beberapa komponen hewani.
Mengingat sepak bola adalah
olahraga yang terdiri dari aktivitas seperti lari, lompat, dan sprint intens
yang memerlukan tingkat energi tinggi, kepatuhan terhadap pola makan bergizi
sangat penting untuk performa para pesepakbola. Mereka memberikan kelompok yang
ideal untuk menyelidiki bagaimana pola makan nabati dikaitkan dengan stres
oksidatif.
Tentang penelitian
Dalam penelitian ini, para
peneliti membandingkan tingkat biomarker urin F2a-IP dan 8-OHdG dan skor indeks
pola makan nabati antara pesepakbola pria profesional dan kontrol non-atlet
untuk memeriksa apakah pola makan nabati dikaitkan dengan penurunan oksidatif.
menekankan.
Pesepakbola yang memiliki
setidaknya dua tahun pengalaman profesional dan memiliki jadwal pelatihan yang
ketat dilibatkan dalam penelitian ini jika metabolisme mereka setara dengan
tugas tersebut lebih dari 3000 menit per minggu. Mereka juga diharuskan untuk
tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol atau mengonsumsi suplemen
antioksidan apa pun. Laki-laki sehat dengan usia yang sesuai dan ukuran indeks
massa tubuh (BMI) yang memiliki tugas metabolik setara antara 600 dan 3000
menit per minggu dimasukkan sebagai kontrol.
Wawancara dilakukan untuk
mengetahui riwayat kesehatan, data asupan makanan, tingkat aktivitas fisik, dan
informasi umum gizi dari seluruh peserta. Pengukuran antropometri seperti
tinggi badan dan berat badan diukur untuk menghitung BMI, dan sampel urin
diperoleh untuk mengukur kadar biomarker stres oksidatif. Kuesioner juga
digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas fisik.
Kuesioner frekuensi makanan
semi-kuantitatif digunakan untuk menentukan asupan makanan semua peserta selama
tahun sebelumnya, termasuk konsumsi item tertentu yang ditentukan dalam gram
per hari. Skor indeks pola makan nabati dihitung menggunakan informasi ini, dan
hasilnya digunakan untuk mengklasifikasikan pola makan menjadi tiga kelompok
besar – makanan nabati yang sehat, makanan nabati yang kurang sehat, dan
makanan hewani.
Pola makan makanan nabati yang
sehat terdiri dari sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian,
polong-polongan, kopi, teh, dan minyak nabati, sedangkan pola makan makanan
nabati yang kurang sehat lebih banyak terdiri dari biji-bijian olahan dan
minuman manis serta makanan penutup. Pola makan yang sebagian besar berbasis
makanan hewani terutama terdiri dari daging, telur, makanan laut, ikan, susu,
dan lemak hewani.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa skor indeks pola makan nabati para pesepakbola secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan skor indeks pola makan nabati yang sehat dan tidak
sehat yang dihitung secara terpisah berdasarkan kelompok pola makan tidak
signifikan. berbeda untuk pesepakbola dan non-atlet.
Selain itu, pola makan nabati
ditemukan terkait dengan tingkat yang lebih rendah dari biomarker stres oksidatif
F2a-IP dalam sampel urin semua peserta, yang menunjukkan peningkatan status
antioksidan karena pola makan nabati. Dibandingkan dengan non-atlet,
pesepakbola juga ditemukan lebih patuh terhadap pola makan nabati, seperti
hipotesis para peneliti.
Pesepakbola ditemukan lebih
banyak mengonsumsi sayuran, buah-buahan, polong-polongan, dan kacang-kacangan
dibandingkan non-atlet, sedangkan konsumsi lemak total dan hewani lebih rendah
di kalangan pesepakbola dibandingkan non-atlet.
Para peneliti juga membahas
potensi peran antioksidan dan polifenol yang ada dalam pola makan nabati dalam
menurunkan stres oksidatif. Mereka juga mendiskusikan temuan dari penelitian
lain yang menemukan hubungan terbalik antara konsentrasi F2a-IP dan komponen
nabati seperti likopen, beta-karoten, dan lutein, yang menunjukkan bahwa pola
makan kaya sayuran menurunkan stres oksidatif.
Selain itu, lemak makanan
diketahui meningkatkan produksi F2a-IP dan mempengaruhi konsentrasi transporter
F2a-IP dalam plasma, yang berpotensi menjelaskan mengapa diet rendah lemak
dikaitkan dengan kadar F2a-IP yang lebih rendah dalam urin.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap pola makan nabati di kalangan
pesepakbola dikaitkan dengan rendahnya tingkat biomarker stres oksidatif F2a-IP
dalam urin. Selain itu, skor pola makan nabati juga menunjukkan bahwa
pesepakbola lebih cenderung mematuhi pola makan nutrisi nabati dibandingkan
non-atlet.
Journal reference:
Zare, M., Shoaei, N., Karimian,
J. et al. Effect of a plant-based diet on oxidative stress biomarkers in male
footballers. Sci Rep 14, 3700 (2024). doi:
https://doi.org/10.1038/s41598-024-54198-3
https://www.nature.com/articles/s41598-024-54198-3
No comments